Senin, 23 Juni 2014

ANKILOSTOMIASIS Blok Tropical Medicine

LAPORAN SKENARIO 1 BLOK XII SEMESTER IV
TROPICAL MEDICINE


KELOMPOK I

KETUA                :  EVIE CLARENSIA LASE                                                 123307039
SEKRETARIS      : SRI WAHYU RATNA SARI NASUTION                         123307115
ANGGOTA          : ADOLF FINSENSIUS SARUMAHA                                123307001
                               AGNES MEINULO DUHA                                                123307002
                               ALHOI LESLEY DAVIDSON                                           123307010
                               ANNISA MAICIE KURNIASIH                                       123307015
                               LOUIS MAPOLO SUTIAN                                               123307072     
                               MARULI FREDDY SIMAMORA                                      123307079
                               NIKKO FERNANDO VENESIA                                      123307085
                               NITA FATMASARI BANGUN                                         123307086
                               P. VESPER J.N. ZAMILI                                                   123307092
                               ROSNILAM MOHO                                                          123307103
                               SITI RAHMADHANI                                                         123307110
                               SKMARINA HANNA LAROSE S.                                   123307111
                               TIORASI PAKPAHAN                                                      123307118

DOSEN TUTORIAL
Dr. Sriwahyuni Nasution
FAKULTAS KEDOKTERAN







KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena atas berkat rahmat dan anugerahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Blok XII Tropical Medicine Skenario I ini tepat pada waktunya.
          Di dalam menyelesaikan makalah ini kami banyak mengalami hambatan dan kesulitan terutama memperoleh data-data yang lengkap serta pengelolaan yang sesuai, akan tetapi berkat bimbingan dosen dan partisipasi dari semua anggota kelompok SGD 1 akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik.
          Kami menyadari masih banyak kekurangan dari pembuatan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritikan maupun saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
          Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada tutor kami dr. Sriwahyuni serta seluruh anggota kelompok SGD 1 yang telah banyak memberikan arahan, motivasi serta kerjasama yang baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


   Medan, 5 Juni 2014
                                                                                                                                  
Penyusun
    (Kelompok SGD 1)










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
BABII DATA PELAKSANAAN TUTORIAL.................................................................2
BAB III PEMBAHASAN SKENARIO.......................................................................... 3-4
BAB IV KAJIAN TEORI............................................................................................... 5
1.      Jenis-Jenis Parasit Nematoda yg Menginfeksi Manusia.......................................... 5-12
2.      Definisi Ankylostomiasis....................................................................................... 13
3.      Etiologi Ankylostomiasis....................................................................................... 13
4.      Epidemiologi Ankylostomiasis............................................................................... 14
5.      Patofisiologi Terjadinya Ankylostomiasis................................................................15-17
6.      Gejala Klinis Ankylostomiasis................................................................................17
7.      Diagnosis Ankylostomiasis.....................................................................................17-22
8.      Diagnosis Banding Ankylostomiasis.......................................................................22
9.      Penatalaksanaan Penyakit Ankylostomiasis............................................................22-23
10.  Pencegahan Ankylostomiasis.................................................................................23-24
11.  Komplikasi Ankylostomiasis................................................................................. 24
12.  Prognosis Ankylostomiasis................................................................................... 24

BAB.V KESIMPULAN AKHIR..................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................26








BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi cacing tambang meliputi seperempat dari populasi dunia, terutama di negara tropis maupun subtropis.

Ancylostomiasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang. Cacing tambang adalah cacing parasit (nematode) yang hidup di ususkecil, pada mamalia seperti kucing, anjing ataupun manusia. Spesies cacing tambang yang menginfeksi manusia yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing tambang mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang berhubungan dengan anemia, gangguan pertumbuhan terutama pada anak dan dapat menyebabkan retardasi mental.
Konsekuensi paling serius dari infeksi cacing tambang adalah kehilangan darah kronis dari duodenum dan jejenum.
Kemungkinan seseorang dengan infeksi cacing tambang menjadi anemia bergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis dari cacing tambang, jumlah cacing, lama infeksi, persediaan zat besi tubuh, pemasukan zat besi dari makanan dan absorbsinya dan kebutuhan fisiologis zat besi.






BAB III
PEMBAHASAN
1.1  Skenario
Bapak Doni 35 tahun, pekerja kebun, dibawa ke rumah sakit dengan keluhan lemah dan lesu. Dialami sejaak 6 bulan yang lalu. Nafsu makan tidak ada, dan kadang-kadang demam juga. Bapak ini bekerja tidak memakai alas kaki. Dari pemeriksaan fisik didapatkan: Malaise, anemis, conj. Pelpebra inferior pucat (+), abdominal pain dan diare. Pemeriksaan laboratorium diperoleh Hb 8 gr%, pemeriksaan feses rutin dijumpai telur cacing. Penyakit apa yang diderita bapak Doni? Bagaimana penanganannya?

1.1  Klarifikasi Istilah
a. Conj. Palpebra inferior = Membran halus yang melapisi kelopak mata dan menutupi
    bola mata pada bagian bawah
b. Malaise = Perasaan yang tidak nyaman yang samar-samar.

1.2    Menetapkan Masalah
a.       Laki-laki, 35 tahun, pekerja kebun, datang dengan keluhan lemah dan lessu dialami sejak 6 bulan yang lalu, nafsu makan tidak ada dan kadang-kadang demam juga, bekerja tidak memakai alas kaki.
b.      Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Malaise, anemis, conj. Palpebra inferior pucat (+), abdominal pain dan diare. Pemeriksaan laboratorium diperoleh Hb 8 gr%, pemeriksaan feses rutin dijumpai telur cacing

1.3  Menganalisis Masalah
1.   a. Infeksi parasit cacing
b. Infeksi karena kurangnya higienitas
2.   a. Anemia karena infeksi parasit

1.4  Kesimpulan Sementara
Bapak Doni, usia 35 tahun, kemungkinan mengalami infeksi cacing Ancylostoma






BAB IV
KAJIAN TEORI

1.        JENIS-JENIS PARASIT NEMATODA YANG MENGINFEKSI MANUSIA BERDASARKAN CARA PENULARANNYA

Kelas : Nematoda
Subklas
Ordo
Superfamili
Genus
Adenophorea
Enoplida
Trichinelloidea
Trichinella
(Aphasmidia )


Trichuris



Capillaria
Secernentea
Rhabditida
Rhabditoidea
Strongyloidea
(Phasmidia)
Strongilid
Ancylostomatoidea
Ancylostoma



Necator



Ternidens


Metastrongiloidea
Angiostrongylus



Metastrongylus


Trichosstrongyloidea
Trichostrongylus

Ascaridida
Ascaridoidea
Ascaris



Toxocara



Anisakis



Lagochilascaria

Oxyurida
Oxyuroidea
Enterobius

Spirurida
Spiruroidea
Gongylonema


Thelazoidea
Thelazia


Gnathostomatoidea
Gnathostoma


Filarioidea
Wuchereria



Brugia



Onchocerca



Loa loa



Dipetalonema



Mansonela



Dirofilaria


Dracunculoidea
Dranculus

Taksonomi dari cacing namatoda adalah:

Filum               : Nemathelminthes
Kelas               : Nematoda
Ordo               : Strongylorida, rhabditorida, ascaridorida, spirurorida, camallanorida,dorylaimorida,              dioctophymatorida
Famili           : Trichostrongylidae, rhabditidae, cephalobidae, strongyloididae,ancylostomatidae, strongylidae, syngamidae, metastrongilidae,ascarididae, filariidae, dll
Genus            : Trichostrongylus, strongyloides, ancylostoma, necator, strongylus,haemonchus, dipetalonema, dirofilaria, dll
Spesies            :Trichostrongylus axei, Strongyloides papillosus, Ancylostoma caninum, Necator americanus, Strongylus equinus, Haemonchus contortus, Dipetalonema reconditum, Dirofilaria immitis, dll

Jenis Nematoda Usus (Soil Trasmitted Helminth)

Soil Trasmitted Helminth adalah cacing golongan Nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangannya. Di Indonesia golongan cacing ini yang penting menyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Tjitra, 2005).
Ascaris lumbricoides
a.       Hospes dan Nama Penyakit
Satu-satunya hospes definitive Nematoda ini adalah manusia. Penyakit yang disebabkan Nematoda ini disebut Ascariasis.

b.      Distribusi Geografis
Karena parasit ini terdapat di seluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran parasit ini
terutama berada di daerah tropis yang tingkat kelembabannya cukup tinggi (Hart, 1997).

c.       Morfologi
Cacing betina panjangnya sampai 20 sampai 35 cm, sedangkan yang jantan panjangnya 15 sampai 31 cm. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah speculum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus, dan 1/3 anteriornya tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus. Telur yang dibuahi besarnya 60 x 45 mikron, telur yang tidak dibuahi besarnya 90x45 mikron, telur matang berisi larva (embrio), menjadi infektif setelah berada di tanah kurang lebih 3 minggu (Gandahusada, 1998).



d.      Penularan
Telur yang dikeluarkan oleh cacing melalui tinja dalam lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi embrio dan berkembang menjadi larva yang infektif di dalam telur. Apabila karena sesuatu sebab telur tersebut tertelan oleh manusia, maka di dalam usus larva akan menetas, keluar dan menembus dinding usus halus menuju sistem peredaran darah. Larva akan menuju ke paru, trakea, faring, dan tertelan masuk ke esofagus hingga sampai ke usus halus. Larva menjadi dewasa di usus halus. Perjalanan siklus hidup cacing ini berlangsung selama 65-70 hari.

Toxocara canis dan Toxocara cati
a.       Hospes dan nama penyakit
Toxocara canis ditemukan pada anjing. Toxocara cati ditemukan pada kucing. Belum pernah ditemukan infeksi campuran pada satu macam hospes. Kadang-kadang cacing ini dapat hidup pada manusia sebagai parasit yang mengembara (erratic parasite) dan menyebabkan penyakit yang disebut visceral larva migrans.

b.      Distribusi geografis
Cacing-cacing tersebar secara kosmopolit; juga ditemukan di Indonesia. Di Jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26,0%.

c.       Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang bervariasi antara 3,6–8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 – 10,0 cm, Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, yang betina antara 2,5 – 14,0 cm.
Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocaracati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing. Telur menjadi infektif di tanah dalam waktu kurang lebih tga minggu. Bentuk infektif ini dapat tertelam oleh anjing, kucing bahkan manusia.

d.      Penularan
Kebanyakan infeksi yang terjadi pada anak-anak adalah secara langsung atau tidak langsung karena menelan telur Toxocara yang infektif. Secara tidak langsung melalui makanan seperti sayur-sayuran yang tercemar atau secara langsung melalui tanah yang tercemar dengan perantaraan tangan yang kotor masuk kedalam mulut. Sebagian infeksi terjadi karena menelan larva yang ada pada hati ayam mentah, atau hati sapi dan biri biri mentah. Telur dikeluarkan melalui kotoran anjing dan kucing; sampel yang diambil dari tanah pertamanan di AS dan Inggris 30% mengandung telur. Ditaman-taman tertentu di Jepang 75% kantong pasir mengandung telur. Telur memerlukan waktu selama 1 – 3 minggu untuk menjadi infektif dan tetap hidup serta infektif selama beberapa bulan; dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang kering. Telur setelah tertelan, embrio akan keluar dari telur didalam intestinum; larva kemudian akan menembus dinding usus dan migrasi kedalam hati dan jaringn lain melalui saluran limfe dan sistem sirkulasi lainnya. Dari hati larva akan menyebar ke jaringan lain terutama ke paru-paru dan organ-organ didalam abdomen (visceral larva migrans), atau bola mata (Ocular larva migrans), dan migrasi larva ini dapat merusak jaringan dan membentuk lesi granulomatosa. Parasit tidak dapat melakukan replikasi pada manusia dan pada hospes paratenic/endstage lain; namun larva dapat tetap hidup dan bertahan dalam jaringan selama bertahun-tahun, terutama pada keadaan penyakit yang asymptomatic. Jika jaringan hospes paratenic dimakan maka larva yang ada pada jaringan tersebut akan menjadi infektif terhadap hospes yang baru.

Hookworm (cacing tambang)

Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya:
Necator americanus                             - manusia
Ancylostoma duodenale                                 - manusia
Ancylostoma braziliense                      - kucing, anjing
Ancylostoma ceylanicum                    - anjing, kucing
Ancylostoma caninum                                     - anjing, kucing

Necator americanus (new world Hookworm) dan Ancylostoma duodenale (old world Hookworm).
a.       Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitive kedua cacing ini adalah manusia. Tempat hidupnya dalam usus halus, terutama jejunum dan duodenum. Penyakit yang disebabkan disebut Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.

b.      Distribusi Geografis
Kedua parasit ini tersebar di seluruh dunia (kosmopolit), penyebaran yang paling banyak di daerah tropis dan sub tropis. Lingkungan yang paling cocok adalah habitat dengan suhu kelembaban yang tinggi, terutama daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2001).



c.       Morfologi dan Daur Hidup
Ukuran cacing betina 9 - 13 mm dan cacing jantan 5 - 19 mm. Bentuk Necator americanus seperti huruf S, mulut dilengkapi gigi kittin, dengan waktu 1 - 15 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform yang panjangnya kurang lebih 250 mikron. Selanjutnya dalam waktu kira-kira 3 hari, satu larva rabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira-kira 500 mikron. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan (Jawetz, 2005).
Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa (Prianto dkk, 2004).
d.      Penularan
Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam 1/3 atas usus halus, kemudian keluar melalui tinja. Telur akan berkembang menjadi larva di tanah sesuai suhu dan kelembabannya. Larva bentuk pertama adalah rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform. Dari telur sampai sampai filariform memerlukan waktu selama 5-10 hari. Larva akan memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki terutama untuk N.americanus) untuk masuk ke peredaran darah. Selanjutnya larva akan masuk ke paru, naik ke trakea, lanjut ke faring, kemudian larva tertelan ke saluran cerna. Larva bisa hidup dalam usus selama 8 tahun dengan menghisap darah (1 cacing =0,2 mL/hari).
Cara infeksi kedua yang bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama A. duodenale) dari makanan atau minuman yang tercemar. Cacing dewasa yang berasal  dari larva yang tertelan tidak akan mengalami siklus paru.

Ancylostoma braziliense dan Ancylostama caninum
a.       Hospes dan nama penyakit
Kucing dan anjing merupakan hospes definitive. Cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.

b.      Distribusi geografik
Kedua parasit ini ditemukan didaerah tropic dan subtropik; juga ditemukan di Indonesia.
Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% A.braziliense, sedangkan pada sejumalah anjing terdapat 18% A.braziliense dan 68% A.caninum.


c.       Morfologi
A.braziliense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya. Cacing jantan panjangnya antara 4,7 – 6,3 mm, yang betina antara 6,1 – 8,4 mm.
A.caninum mempunyai tiga pasang gigi; cacing jantan panjangnnya kira-kira 10 mm dan cacing betina kira-kira 14 mm.

Ancylostoma ceylanicum

Cacing tambang anjing dan kucing ini dapat menjadi dewasa pada manusia. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigi yang tidak sama besarnya. Di antara 100 anjing, 37% mengandung A.ceylanicum. cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya.


Enterobius vermicularis (Oxyrus vermicylaris)
(cacing kremi, pinworm, seatworm)
a.       Hospes dan nama penyakit
Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut enterobisis atau oksiuriasis.

b.      Distribusi geografik
Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin dari pada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga di tunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai.

c.       Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esophagus jelas sekalii, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya (?); spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus.

d.      Penularan
Cacing dewasa betina biasanya akan berimigrasi pada malam hari ke daerah sekitara anus untuk bertelur. Telur akan terdeposit disekitar area ini. Hal ini akan menyebabkan rasa gatal di sekitara anus (pruritus ani nokturnal). Apabila digaruk penularan dapat terjadi dari kuku jari tangan ke mulut (self-infection).
Metode penularan lainnya adalah dari orang ke orang melalui pakaian, peralatan tidur. Penularan juga dapat terjadi dalam lingkungan yag terkontaminasi cacing kremi, misalnya melalui debu rumah. Telur menetas di usus halus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke daerah sekitar anus (caecum). Disini larva akan tinggal sampai dewasa. Infeksi dapat juga terjadi karena menghisap debu yang mengandung telur dan retrofeksi dari anus. Bila sifat infeksinya retrofeksi dari anus, maka telur akan menetas disekitar anus, selanjutnya larva akan bermigrasi ke kolon asendens, sekum, atau apendiks dan berkembang sampai dewasa.

Trichuris trichiura     
(Trichocephalus dispar, cacing cambuk)
a.       Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan penyakit yang disebabkannya disebut Trikuriasi.

b.      Distribusi Geografis
Cacing ini tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk di Indonesia (Hart, 1997).

c.       Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran 50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Telur yang sudah dibuahi dalam waktu 3 sampai 6 minggu akan menjadi matang, manusia akan terinfeksi cacing ini apabila menelan telur matang, di dalam usus halus telur ini akan menjadi dewasa dan berkumpul di kolon   terutama di daerah seklum. Proses dari telur sampai menjadi cacing dewasa memerlukan waktu kurang lebih 1 sampai 3 bulan (Prianto dkk, 2004).

d.      Penularan
Apabila manusia menelantelur yanng matang, maka telur akan menetaskan larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya larva akan bergerak turun dengan lambat untuk menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 3 bulan. Didalam sekum, cacing bisa hidup sampai bertahun-tahun. Cacing akan meletakkan telur pada sekum dan telur-telur ini keluar bersama tinja. Pada lingkungan yang kondusif, telur akan matang dalam 2-4 minggu.

Strongyloides strecoralis

a.       Hospes dan nama penyakit
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat menyebabkan penyakit strongilodiasis.

b.      Distribusi geografi
Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropic dan subtropik sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.

c.       Morfologi
Hanya di ketahui cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm.

d.      Penularan
Larva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paruparu. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform.Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahuntahun
 2.        DEFINISI ANCYLOSTOMIASIS

Ancylostomiasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang. Cacing tambang adalah cacing parasit (nematode) yang hidup di ususkecil, pada mamalia seperti kucing, anjing ataupun manusia. Spesies cacing tambang yang menginfeksi manusia yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing tambang mengisap darah sehingga menimbulkan keluhan yang berhubungan dengan anemia, gangguan pertumbuhan terutama pada anak dan dapat menyebabkan retardasi mental.

3.        ETIOLOGI ANCYLOSTOMIASIS
Penyakit cacing tambang, hookworm disease atau ankilostomiasis disebabkan oleh Ancylostoma Duodenale (hookworm dunia lama) dan Necator Americanus (hookworm dunia baru).A.Ceylanicum jarang menimbulkan infeksi pada manusia tetapi lebih sering menginfeksi binatang piaraan seperti anjing dan kucing.
Duodenale mempunyai ukuran lebih besar dari Americanus.A.Duodenale betina dapat memproduksi telur 10.000-25.000 perhari.A.Duodenale dewasa memiliki 2 pasang gigi (4 gigi) seperti kait yang menonjol, kemampuan menghisap darah 0,20 ml per cacing per hari. Bentuk badan A.Duodenale menyerupai huruf C pada cacing jantan terdapat bursa kopulatriks.
N. Americanus berbentuk silinder, dengan ukuran cacing jantan 5-11 mm x 0,3-0,35 mm, sedang cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. N.Americanus dapat memproduksi telur 10.000-20.000 telur per hari. Memiliki sepasang gigi seperti plat dan menghisap darah  0,03 ml per cacing per hari. Bentuk badan N.Americanus menyerupai huruf S.
Telur cacing tambang terdiri atas satu lapis dinding yang tipis dan adanya ruangan yang jelas antara dinding dan terdapat 2-4 sel didalamnya.Telur keluar bersama tinja dan berkembang di tanah. Ukuran telur A.Duodenale 56-60  x 36-40 , telur N.Americanus 64-76  x 36-40 .


4.        EPIDEMIOLOGI         
Infeksi cacing tambang meliputi seperempat dari populasi dunia, terutama di negara tropis maupun subtropis. Sekitar 900 juta penduduk dunia terinfeksi ankilostomiasis, menyebabkan kehilangan darah 9 juta liter setiap harinya. Suatu penelitian melaporkan bahwa angka kesakitannya adalah 50% pada balita, sedangan 90% anak yang terserang penyakit ini adalah anak berusia 9 tahun. Penyakit cacing tambang tersebar luas diseluruh dunia. N. Americanus terutama di negera-negara barat dan juga negara tropis seperti Afrika, Asia tenggara, Indonesia, Australia, Kepulauan Pasifik dan beberapa negara bagian Amerika. A.Duodenale tersebar terutama di mediterania, Asia utara, India Utara, Cina dan Jepang.
Cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang menetas menjadi larva rabditiform dalam waktu 24-36 jam untuk kemudian pada hari ke 5-8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimum bagi N.Americanus adalah 28’C-32’C dan untuk A.Duodenale  adalah sedikit lebih rendah 23’C-25’C. Ini salah satu sebab mengapa N.Americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenale.
Dinamakan cacing tambang karena pada awalnya cacing tersebut ditemukan pada para pekerja tambang di eropa yang fasilitas sanitasinya belum memadai, tinja kurang dikelola secara baik serta kebiasaan berjalan kaki di tanah tanpa menggunakan alas kaki. Manusia merupakan inang utama infeksi cacing tambang. Endemisitas infeksi tergantung pada kondisi lingkungan guna menetaskan telur dan maturasi larva. Prevalensi di Indonesia cukup tinggi terutama di daerah pedesaan, khususnya perkebunan dan pertambangan. Di Indonesia angka nasional prevalensi ancylostomiasis secara berurutan pada tahun 2002-2006 sebesar 2,4%; 0,6%; 5,1%; 1,6%; dan 1,0%. (Depkes RI, 2006)
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian feses sebagai pupuk kebun penting dalam penyebaran infeksi.








5.        PATOFISIOLOGI TERJDINYA ANKYLOSTOMIASIS


Tahap-tahap dari siklus hidup cacing ini adalah :
1.      Telur dikeluarkan dalam tinja
2.      Dalam kondisi yang menguntungkan (kelembaban , kehangatan, temaram), larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform ini tumbuh dalam tinja dan/atau tanah,
3.      Setelah 5 sampai 10 hari (mengalami dua kali molting) menjadi filariform larva (L3/tahap ketiga) yang infektif.
4.      Infektif larva dapat bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan. Pada kontak dengan inang manusia, larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-paru. Mereka menembus ke dalam alveoli paru , naik cabang bronkial menuju faring , dan tertelan.
5.      Larva mencapai usus kecil, tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup di lumen usus kecil, menempel pada dinding usus. Sebagian besar cacing dewasa dieliminasi dalam 1 sampai 2 tahun, tapi umur panjang bisa mencapai beberapa tahun.
Pada tahap awal dari infeksi cacing tambang, gejala, tanda dan perubahan patologis bersifat sementara dan berperan dalam penetrasi ke kulit dari larva, yang kemudian migrasi selanjutnya dari larva menuju ke paru-paru dan mukosa usus. Jika berlangsung lama, gejala dan tanda utamanya adalah anemia dan hipoproteinemia.
Penetrasi ke kulit
Ketika larva berpenetrasi ke kulit, mungkin akan menimbulkan sensasi sengatan, diikuti dengan iritasi, eritema, oedema dan erupsi papulovesikuler dengan rasa gatal. Gejala ini jarang muncul pada orang yang hidup di area endemik cacing tambang yang khusus infektan pada manusia, tetapi mungkin bisa diketahui dari pengunjung yang bukan berasal dari daerah endemik
Migrasi larva
Perpindahan dari larva cacing tambang menuju tubuh menyebabkan perubahan patologis, tetapi perdarahan kecil dan infiltrasi leukosit atau eosinofil mungkin muncul dimana larva melewati dinding alveolus dari paru-paru. Perpindahan dari larva melewati saluran pernapasan mungkin menyebabkan batuk, karena iritasi dari bronkus dan membran mukosa trakea.
Infeksi Usus
Di duodenum dan jejenum, cacing tambang mengikat diri mereka ke usus dengan menelan sebagian dari mukosa usus di dalam cavita buccal mereka. Di sana mereka makan darah dari pembuluh darah dan jaringan mukosa yang terpotong. Pada titik dimana terjadi penempelan dari cacing ini biasanya terjadi reaksi perdarahan dan inflamasi, tetapi lesi ini sembuh dengan cepat ketika cacing tambang pindah ke tempat lain, yang mereka lakukan setiap 4-6 jam.
Selama fase di intestinal, pasien yang terinfeksi mungkin mengalami nyeri epegastrikduodenal, gangguan pencernaan, nafsu makan menghilang atau diare. Bagaimanapun, gejala dan tanda itu sangat umum dan mungkin sulit untuk dinilai sebagai infeksi cacing. Di tempat di mana cacing tambang dengan prevalensi tinggi, kemungkinan infeksi cacing sangat mungkin, jika terdapat laporan di rumah sakit atau rumah rawatan dengan insidensi “ulcer duodenum”  yang tinggi.
Kehilangan darah kronis
Konsekuensi paling serius dari infeksi cacing tambang adalah kehilangan darah kronis dari duodenum dan jejenum. Jika infeksi tidak diatasi  dengan baik maka kehilangan darah akan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun, menyebabkan berkurangnya penyimpanan besi dan berkembang menjadi anemia defisiensi besi. Ada juga yang menyebabkan kehilangan serum protein, yang mungkin menyebabkan hipoalbunemia parah.
Kemungkinan seseorang dengan infeksi cacing tambang menjadi anemia bergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis dari cacing tambang, jumlah cacing, lama infeksi, persediaan zat besi tubuh, pemasukan zat besi dari makanan dan absorbsinya dan kebutuhan fisiologis zat besi.
6.        GEJALA DAN TANDA DARI ANEMIA KARENA CACING TAMBANG
Pada infeksi kronis, gejala dan tanda biasanya berkaitan dengan anemia dan hipoalbuminemia. Jika anemia onsetnya berangsur, gejalanya mungkin hanya tampak sedikit, bahkan ketika hemoglobin sangat rendah. Pasien mungkin mengeluhkan rasa lemah, sering capai, sulit melakukan pekerjaan seharian penuh dan napas pendek pada saat mengerahkan tenaga. Palpitasi, pusing, nyeri epigastrium, sakit pada kaki tanpa sebab yang jelas dan kehilangan nafsu makan adalah gejala umum, pria mungkin juga mengeluhkan impotensi. Pada beberapa pasien, mungkin juga ada nyeri pada prekordial dan angina, penglihatan kabur, tunitis di telinga, kesulitan menelan, kebas-kebas di tangan, atau bengkak di mata kaki.


7.        DIAGNOSIS ANKYLOSTOMIASIS

ANAMNESIS
Keluhan utama : Lemah, Lesu dan diare.
Keluhan tambahan :Nyeri perut, kurang nafsu makan,demam, ground-itc (gatal kulit tempat masuknya larva filariform), dapat disertai dengan dahak berdarah.
Riwayat tempat tinggal : pada pasien dengan infeksi cacing tambang ditemkan bahwa kebanyakan dari mereka tinggal di daerah yang padat penduduk dengan tingkat higenitas yang buruk.
Riwayat pekerjaan : pada infeksi cacing tambang hal ini sangat penting karena biasanya pasien dengan ankilostomiasis bekerja tanpa menggunakan alas kaki
                         

PEMERIKSAAN FISIK
Hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh pada pasien yang menderita infeksi Cacing Nematoda adalah :
Observasi :
1.      Kesadaran pasien : Sadar, gelisah dan lainnya
2.      Gaya berjalan pasien saat memasuki ruangan (sambil menggaruk-garuk anus,ditopang oleh keluarga)

Inspeksi:
1.      Kondisi tubuh pasien (lemah, lesu, kurus / malnutrisi)
2.      Keadaan kulit (pucat, vesikel, makulopapula)
3.      Malaise
4.      Anemis, conj. Palpebra inferior pucat
5.      Kesulitan dalam bernafas

Palpasi:
1.      Nyeri tekan pada daerah abdomen
2.      Denyut nadi yang lemah
3.      Adanya demam
Perkusi:
Perkusi batas-batas organ; Hati dan splen.

Auskultasi:
1.      Adanya ronkhi kasar 
2.      Suara jantung yang melemah

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lab:
Jenis cacing nematoda: Ancylostoma duodenal, Necator americanus / cacing tambang
Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan:
a)      Eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml)
b)      Feses normal
c)      Infiltrat patchy pada foto toraks dan
d)     Peningkatan kadar IgE 
Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat ditemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses. Tanda-tanda anemia defisiensi besi yang sering dijumpai adalah anemia mikrositik-hipokrom, kadar besi serum yang rendah, kadar total iron binding capacity yang tinggi. Di sini perlu dieksklusi penyebab anemia hipokrom mikrositer lainnya.Dapat ditemukan peningkatan IgE dan IgG4, tetapi pemeriksaan IgG4 tidak direkomendasikan karena tinggi biayanya.
Hal-hal penting pada pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing tambang yang ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A.lumbricoides yang berbentuk dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24 jam tanpa diawetkan maka telur yang ada di dalamnya akan berkembang, menetas dan mengeluarkan larva labditiform. Larva labditiform cacing tambang harus dibedakan dengan Stronyloides stercoralis dan Trichostrongylus (melalui pembiakan larva metode Harada Mori). Telur cacing tambang mudah rusak oleh perwanaan permanen dan telur lebih mudah di lihat pada sediaan basah.
Tabel 4.1

Diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan beberapa cara: 
         1.         Pemeriksaan Sediaan langsung
Diambil tinja kira-kira 0,2 g diletakan pada kaca benda. Kemudian ditambah 1-2 teteslarutan garam fisiologis dan diratakan. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup danlangsung diperiksa dibawa mikroskop. Untuk memberikan warna pada tinja agar telur cacing tampak lebih jelas, dapat digunakan 1 tetes eosin 0,2% sebagai pengganti garamfisilogis.

         2.         Tehnik Pengapungan Dengan NaCl jenuh.
Dimasukan tinja kurang lebih 5 g kedalam tabung reaksi dan ditambah NaCl jenuh,diaduk sampai homogen, diambil kaca tutup, dan diamkan 10-15 menit di dalam tabungreaksi. Diambil kaca tutup tanpa mengubah kedudukannya langsung diletakan pada kaca benda dan diperiksa telur-telurnya.
         3.         Pemeriksaan Tinja menurut Kato
Tehnik ini dirintis oleh kato untuk pemeriksaan telur cacing,yaitu: memotong kertasselofan 30-50 mm x 20-30 mm dan direndam dalam larutan malachite green 3% yangencer selama 24 jam atau lebih. Ambil tinja 50-60 mg diletakan diatas kaca benda dantutup sepotong selofan yang telah direndam dalam larutan tersebut. Diratakan dengan ibu jari dan ditekan selofan tadi supaya tinjanya merata. Kaca benda tersebut didiamkan padasuhu 400C selama 30 menit atau suhu kamar selama 1 jam. Sediaan tersebut diperiksadengan pembesaran lemah atau lensa objektif 10x.

         4.         Tehnik Biakan dengan Arang
Tehnik ini untuk kultur larva adalah menggunakan arang dengan meniru keadaan alam. Caranya diencerkan 20-40g tinja dengan air kran smapai menjadi suspensi yangkental. Disaring dengan 2 lembar kain kasa dan ditampung dalam cawan petri yang besar(kurang lebih 3x 4 inci) berisi butiran arang kecil. Butiran arang tersebut di campur dengan air sedikit sehingga keadaan menjadi lembab, Jangan terlalu banyak. Cawan petridi tutup dan ditempatkan pada tempat yang aman. Pada hari berikutnya cawan petri harusdi periksa, apakah masih cukup airjika di perlukan tambahkan air.cawan tersebutdiperikas pada tiap hari, harus hati-hati sebab air yang mengandung larva yang terdapat pada permukaan bagian bawah tutp, merupakan larva infektif. Hari ke 5 atau 6 dalamkultur dapat dihasilkan larva cacing.Untuk memeriksa larva siapakan kain kasa yangdipotong sama dengan diameternya. Kain kasa di ambil dengan hati-hati, pasang penjepit.upayakan jangan sampai menyentuh arang. Tutup cawan petri dibuka sedkiti supayakena sumber cahaya 6-8 inci. Setelah 1 jam saringan diambil dengan penjepit/pinset dandiletakkan ke permukaan air. Hasil dapat diambil setelah 30-60 menit dengan sebuah pipetdiberikan pada kaca benda serta ditutup dengan kaca pentup dan periksa dibawah mikroskop.

         5.         Tehnik Menghitung Telur Cara Stool
Metode ini dapat digunakan untuk menaksir jumlah cacing dengan menghitung jumlah telur. Caranya: sebuah botol di isi dengan NaOH 0,1 N 56 ML(Stool) dandimasukan tinja, diaduk smapai homogen, dipipet 0,15 dan diletakan dikaca benda lalu ditutup dengan kaca penutup dan periksa. Telur per gram akan tergantung pada konsistensi fesesnya, yaitu:
1.      Tinja yang lembek,EPG (egg per gram)dalam pemeriksaannya dikalikan setengah.
2.      Tinja setengah encer,EPG yang diperoleh dikalikan 2.
3.      Tinja encer, EPG yang diperoleh pada pemeriksaan dikalikan 3.

         6.         Tehnik pengendapan Sederhana
Tehnik ini memerlukan waktu yang lama, tetapi mempunyai keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak bentuknya. Caranya: diambil 10 mg tinja dan diencerkan dengan air sehingga volumenya menjadi 20 kali. Disaring melalui 2 lembar kain kasa dan dibiarkan 1 jam. Menuangkan supernatan dan ditambahkan dengan air dan didiamkan selama 1 jam serta di ulangi sampai supernatan menjadi jernih. Kemudian ditunangkan supernatan yang jernih dengan pipet panjang untuk mengambil endapan dan ditempatkan pada kaca benda sefta ditutup dengan kaca peutup.selanjutnya dibaca dibawah mikroskop.

         7.         Tehnik biakan Menurut Harada Mori
Metode ini menggunakan tabung dengan diameter 18 mm dan panjang 170 mm. Kira-kira 0,5 g tinja di oleskan pada 2/3 dari secarik kertas saring yang lebarnya 25 mm dan panjangnya 150 mm dengan menggunakan batang pengaduk. Dari kertas uang dioleskan tinja, dilipat menjadi 2 melalui poros yang panjang dengan permukaan yang diolesi di bagian dalam dan disisipkan kedalam tabung tes, di tambah air dan air tidak menyentuh tinja. Tabung di ikat dengan karet, kemudian tabung di simpan 4-7 hari pada suhu kamar.Larva yang berkembang biak muncul di dalam air 3 hari setelah dikultur dan mencapaimaks 7 hari. Larva dalam air dapat diperiksa dengan loupe atau mikroskop pembesranobyektif 10x.
         8.         Tehnik Pengapungan Dengan Pemusingan dengan ZnSO4
Diambil tinja sebesar biji kelereng dan dimasukan kedalam tabung reaksi, ditambah air sedikit demi sedikit dan diaduk sampai volume menjadi 10 kalinya. Diambil kain kasa untuk menyaring tinja yang telah diaduk dan di ditampung dalam tabung pemusing. Dipusing dengan kecepatan 1800 rpm selama 1-2 menit dan ini lakukan sebanyak 3-4kali. Tambahkan larutan ZnSO4 sampai 2/3 tabung pemusing dan diaduk serta dipusinglagi dgn kecepatan 1800 rpm selama 1-2 menit. Material yang mengapung diambil dengan pipet dan di taruh di kaca benda di tambah larutan J-KJ, dicampur, ditutup memakai kaca tutup dan diperiksa dibawa mikroskop.

         9.         Tehnik Pengapungan dengan Gula
Diambil tinja 3 mg dilarutkan dalam 3 ml larutan gula dan diaduk sampai rata. Ditambah larutan gula jenuh lagi sampai permukaan mulut tabung cembung. Kaca tutup ditaruh diatas tabung reaksi, setelah 25 menit kemudian kaca tutup diletakan diatas kaca benda. Periksa di bawa mikroskop.

8.    DIAGNOSIS BANDING ANKYLOSTOMIASIS
Diagnosis banding untuk infeksi cacing tambang adalah penyakit-penyakit:
1.      Penyebab lain anemia
2.      Tuberkulosis
3.      Penyebab gangguan gastrointestinal lainnya.

19.        PENATALAKSANAAN PENYAKIT ANKYLOSTOMIASIS
Perawatan umum
a.         Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati dan telur) dan bahan makanan nabati (sayuran bewarna hijau tua, kacang-kacangan, tempe)
b.        Mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
c.         Suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan bersama-sama dengan anemia. Dapat diberikan preparat besi oral, Sulfas ferosus 3 x 200 mg (1 tablet) untuk orang dewasa atau 10 mg/kgBB/kali untuk anak
Perawatan khusus (Aru Sudoyo, 2006)
1.      Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg bid x 3 hari.
2.      Pirantel Pamoat 10 mg/KgBB dosis tunggal, cukup efektif dengan toksisitas yang rendah.
3.      Albendazol. Diberikan dengan dosis tunggal 400 mg. Tidak boleh digunakan selama hamil.
4.      Tetrakloretilen. Merupakan obat pilahan utama (drug of choise) terutama untuk pasien ansilostomiasis. Dosis diberikan 0,12 ml/kgBB, dosisi tunggal tidak boleh lebih dari 5 ml. Pengobatan dapat diulang 2 minggu kemudian bila dilakukan pemeriksaan telur tinja tetap positif. Pemberian obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kosong disertai pemberian 30 g MgSO4. kontraindikasi pemberian obat ini pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan, konstipasi.
5.      Befanium hidroksinaftat. Obat pilahan utama untuk ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal pada anak. Obat ini relatif tidak toksik. Dosis diberikan 5 g 2 kali sehari, dan dapat diulang bilamana diperlukan.

10.        PENCEGAHAN ANKYLOSTOMIASIS
1.      Deteksi dini penyakit pada anggota keluarga, apabila pada feses terdapat telur / cacing dewasa maka segera dibawa ke pusat pelayanan kesehatan
2.      Mengikuti pengobatan masal pada anak, yang diselenggarakan oleh pemerintah
3.      Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi / lingkungan
4.      Mencegah terjadinya kontak dengan larva dengan cara memakai sandal atau sepatu

Promotif Ankilostomiasis
menjelaskan kepada masyarakat sedikit tentang ankilostomiasis, seperti : ankilostomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ancylostoma duodenale dan cara penularannya bisa melalui tertelannya makanan yang terkontaminasi telur dan larva cacing, dan juga menembus kulit. Gejalanya dapat berupa berkurangnya nafsu makan, mual, muntah, nyeri perut, diare dan pada infeksi yang lama bisa menyebabkan anemia ( kekurangan darah) sebab penghisapan darah oleh cacing. Kerugian yang dapat ditimbulkan akibat kecacingan sangat besar terhadap perkembangan fisik, intelegensia, dan produktivitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Kemudian menghimbau masyarakat agar :
a. Tidak buang air besar sembarangan
b. Cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar dengan sabun dan air                mengalir.
c.  Pemeriksaan kesehatan secara berkala di Posyandu, Puskesmas.



11.        KOMPLIKASI ANKILOSTOMIASIS
Komplikasi yang tersering dari Ankilostomiasis adalah :
1.      Anemia berat
Anemia berat bisa terjadi karena darah kita di ambil olah cacing sebagai sumber nutrisi. Dan pada cacing ankilostoma terdapat zat antikoagulan pada mulutnya sehingga darah akan terus mengalir.
2.      Dermatitis
Salah satu komplikasi yang terjadi karena inervasi cacing kedalam tubuh melalui kulit di kaki, ataupun pada bagian tubuh yang lain yang menyebabkan rasa gatal dab bisa timbul fistula.
3.      Defisiensi besi
Hal ini akan mengakibatkan tanda berupa choilinicia,cheilosis yang merupakan manifestasi klinis defisiensi besi karena kurangnya asupan oksigen dan nutrisi.
4.      Gagal  jantung
Anemia yang lama dan kronis bisa menyebabkan gagal jantung
5.      Gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental



12.        PROGNOSIS ANKILOSTOMIASIS
Prognosis dari penyakit ankilostomiasis adalah baik, walaupun pasien datang dengan komplikasi ankilostoma dapat disembuhkan asalkan dengan pengobatan yang adekuat.




BAB V
KESIMPULAN AKHIR


Bapak Doni, umur 35 tahun, pekerja kebun.
Keluhan utama                  : Lemah dan lesu selama 6 bulan. Disertai nafsu makan menurun dan kadang-kadang demam (karena infeksi). Tidak memakai alas
   kaki (Hal ini memungkinkan masuknya larva Ancylostoma).
Hasil pemeriksaan fisik      :  Malaise, anemis, conj. Palpebra inferior pucat (+) (Kemungkinan karena perdarahan kronis pada usus), abdominal pain (Karena lesi akibat gigitan cacing) dan diare.
Pem. Lab                           : Hb 8 gr% (anemia), pemeriksaan feses dijumpai telur cacing.
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan : Pemeriksaan feses dengan metode Harada Mori untuk membedakan jenis cacing yang menginfeksi dan pemeriksaan darah lengkap untuk melihat peningkatan eosinofil.
Diagnosa banding:
1.  Ankylostomiasis
2.  Anemia
3.  Gangguan gastrointestinal

Diagnosa: Ankylostomiasis

Penatalaksanaan:
1.    Bed rest
2.    Albendazole dosis tunggal 400 mg
3.    Sulfat ferosus 3x200 mg selama 2 bulan
4.    Disarankan untuk menggunakan alas kaki dan sarung tangan saat bekerja di kebun
Prognosis: Umumnya baik dengan penatalaksanaan cepat dan tepat




DAFTAR PUSTAKA
1.             Zaman, Viqar. Atlas Parasitologi Kedokteran : Nematoda. Edisi II. Jakarta.
2.             Gandahusada srisasi, dkk. Parasitologi Kedokteran: Edisi ketiga. Jakarta.
3.             Z. S. Pawlowski. Hookworm Infections and Anemia. 1991. Geneva:  World Health Organization.
4.             Vinod K Dhawan. Ancylostoma Infection. May 2012. Dari: URL: http://emedicine.medscape.com/article/996361-overview#a0104
5.             ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/download/1132/491
7.             Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 2010
8.             Onggowaluyo, jangkung samidjo., 2002. “PARASITOLOGI MEDIK I helmintologi”, Buku kedokteran EGC, Jakarta
9.             Prianto, juni L.A., Tjahaya, P.U., Darwanto, 1995. “ ATLAS PARASITOLOGI KEDOKTERAN  “ , Gramedia
10.         Pohan H T. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. Sudoyo AW, Alwi I, Setiyohadi B. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. EGC : Jakarta Jilid III Hal 2938-41
11.         Referensi Repository USU yang di akses di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21528/6/Chapter%20II.pdf. Pada 2 Mei 2014
12.         Ali S.A, dkk. 2013. Ancylostama Duodenale Seperated from Contaminated Soil. International Journal of Zoology and Research. 3:27-38.

13.         Sudoyo AW. 2009.buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : internal publishing.jilid III edisi V
14.         Garcia SL, Bruckner AD. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC
15.         USAF. Ancylostomiasis. From web : http://www.phsource.us/PH/ZD/NZ/Ancylostomiasis.htm